Kamis, 30 Juli 2015

Nightmare Campus 4: My Beloved Lecturer



Rania
2 Juli 2007 oleh shusaku
“Ok, kalau tidak ada pertanyaan lagi kuliah hari ini sekian dulu, jangan lupa minggu depan kita kuis” demikian Rania mengakhiri mata kuliah Teori Ekonomi Mikro hari itu.
Rania adalah seorang dosen muda di fakultas ekonomi itu, usianya 26 tahun, berparas cantik dengan rambut sebahu direbonding dan bertubuh indah dengan tinggi 170cm, berat 54 kg, juga kulit putih mulus plus payudara 34B. Kadang orang sering sulit membedakan mana yang mahasiswi mana yang dosen kalau dia berada diantara mahasiswanya dengan pakaian modis. Kebagian mata kuliah yang diajarkannya merupakan suatu berkah bagi para mahasiswa, karena selain ngajarnya enak dan orangnya gaul sehingga mudah dekat dengan yang diajar, juga menyegarkan mata dengan melihat wajah cantiknya yang kata mereka mirip Kelly Lin dan tubuh indahnya terutama kalau memakai pakaian ketat atau rok agak pendek.
Setelah kuliah selesai semua mahasiswa keluar dari kelas, kecuali satu mahasiswi, Ellen (baca eps. 1), dia menutup pintu ruang kuliah setelah yang lain keluar dan menghampiri Rania yang sedang membereskan barang-barangnya.
“Eeemm…Ci Nia(beberapa mahasiswa memanggilnya demikian karena umurnya tidak beda jauh dengan mereka) bisa kita bicara sebentar ?” kata Ellen
“Ada apa Len, masalah tugas lagi yah ?” jawab Rania tersenyum ramah
Awalnya memang Ellen menanyakan tentang pelajaran yang tidak dia mengerti, kemudian topik beralih, Ellen mulai curhat mengenai dirinya yang sedang cekcok dengan pacarnya sehingga tidak konsen dalam belajar. Rania yang memang dekat dengan mahasiwa/i nya mendengar dan menghiburnya sehingga mereka malah makin hanyut dalam obrolan wanita sementara jam sudah hampir menunjukkan pukul enam, langit pun mulai gelap, suasana di lantai itu sudah sepi karena itu kuliah terakhir.
Akhirnya Rania pun bangkit dan mengajak Ellen pulang mengingat hari sudah malam
“Yuk kita sambil jalan aja ngobrolnya, udah malem gini, jadi serem nih” ajaknya.
“Ci, bisa bantu saya satu hal lagi ga ?” tanya Ellen lagi, kali ini dia mendekati Rania, digenggamnya kedua lengan dosennya itu sambil menatap matanya.
“Nggg…eh ada apa lagi sih Len ?” Rania jadi gugup karena sikap mahasiswinya itu
Suasana hening beberapa detik, keduanya saling tatap sebelum tiba-tiba Ellen memagut bibir dosennya itu. Rania tersentak kaget, dia melepaskan ciuman itu dan melotot memandangi Ellen.
“Len…kamu…mmmhh!” sebelum sempat menyelesaikan kata-katanya Ellen sudah kembali menciumnya.
Rania sempat berontak selama beberapa saat namun ciuman dan belain Ellen pada daerah sensitifnya membuat gairahnya naik, baru kali ini dia melakukannya dengan sesama jenis, dirasakannya kenikmatan yang berbeda yang menggodanya untuk meneruskan lebih jauh.
Rangsangan dari dalam dirinya dan menyebabkan Rania pun menyambut ciuman mahasiswinya itu. Lidah mereka bertemu, saling jilat dan saling membelit. Sementara itu tangan Ellen meremas lembut payudara Rania dari luar, Rania sendiri sudah mulai berani mengelus punggung Ellen, tangan satunya mengelus pantatnya yang masih terbungkus celana ketat sedengkul warna hitam. Keduanya terlibat dalam ciuman penuh nafsu selama lima menit, dan ciuman Ellen pun mulai turun ke lehernya.
“Sshhh…kurang ajar juga kamu Len !” desisnya dengan nafas memburu.
Ellen mulai menciumi pundak Rania sambil kedua tangannya memegangi leher kaos lengan panjangnya yang berleher lebar itu dan mulai memelorotinya sehingga bra putih di baliknya terlihat, dia turunkan juga cup bra itu hingga terlihatlah sepasang gunung kembarnya yang membusung kencang. Jari-jari lentik Ellen mengusapinya dengan lembut sehingga Rania pun hanyut dalam kenikmatan.
“Gimana Ci, asyik kan ? Ci Nia jadi tambah cantik kalau lagi horny gitu loh” Ellen tersenyum nakal sambil memilin-milin kedua puting dosennya.
“Mmhh…eengghh…udah dong Len, sshh…ntar ada yang tau !” desahnya merasakan kedua putingnya makin mengeras.
“Tenang Ci, disini aman kok, ini kan tingkat empat, kita have fun bentar yah !”
Kemudian Ellen mencumbui payudara Rania, lidahnya menyapu-nyapu puting kemerahan yang sudah menegang itu. Rania hanya bisa mendongak dan mendesah merasakan nikmatnya. Tangan Ellen sudah mulai menyingkap rok selutut Rania dan merabai pahanya yang putih mulus itu.
“Hhhssshh…eeemmmhh !” Rania mendesis lebih panjang dan tubuhnya menggelinjang ketika tangan Ellen menyentuh kemaluannya dari luar celana dalamnya.
Seperti ada getaran-getaran listrik kecil yang membuat tubuhnya terasa tersengat dan tergelitik saat jari lentik Ellen menyusup lewat pinggir celana dalamnya dan menyentuh bibir vaginanya, daerah itu jadi basah berlendir karena sentuhan-sentuhan erotis itu.
Kenikmatan mereka tiba-tiba dibuyarkan oleh suara pintu dibuka, seseorang muncul dari sana sambil tertawa-tawa.
“Hahaha…bagus-bagus, adegan yang hebat, Bu Rania yang terpelajar itu ternyata begini kelakuannya di luar jam kuliah, hebat sekali !” Imron, si penjaga kampus bejat itu tertawa dan bertepuk tangan
Rania pun refleks melepaskan diri dari pelukan Ellen dan merapikan pakaiannya dengan tergesa-gesa, wajahnya memerah menahan malu.
“Saya pernah baca di tata tertib kampus bahwa kalau ada ketahuan mahasiswa yang berbuat tidak senonoh di kampus akan dipecat, tapi sekarang dosen yang harusnya ngasih teladan malah berbuat gini, wah-wah mau jadi apa nih bangsa ini kalau pendidiknya saja kaya ini !” tambahnya sambil geleng-geleng kepala.
“Eehhmm…maaf Pak kita sedikit khilaf, ini ada sedikit uang rokok buat Bapak, anggap aja yang tadi ga ada yah Pak !” Rania berbicara agak gugup dan mengambil selembar limapuluh ribuan dari tasnya.
“Aahh, simpan saja uang Ibu itu, supaya rahasia Ibu aman saya cuma mau…!” Imron menatapi tubuh Rania dari atas sampai bawah sebagai ganti kata-katanya yang tidak diteruskan. Tatapan matanya sangatlah mesum dan membuat kedua wanita itu merinding.
“Jangan yang engga-engga lah Pak, ini ambil atau nggak sama sekali !” Rania yang mengerti apa kemauan Imron dengan kesal menjatuhkan lembaran uang itu ke bangku di dekatnya. “Lagian siapa sih yang bakal percaya omongan Bapak, paling juga dianggap gosip murahan, jadi jangan mimpi , ayo Len kita pulang !” tambahnya sambil mengambil tasnya bersiap untuk meninggalkan ruangan. Terlihat sekali dia bersikap judes untuk menutupi kegugupannya.
“Tapi kalo disertai bukti ini tentunya bakal jadi gosip mahal kan ?” Imron mengeluarkan cameraphone itu dari sakunya dan menunjukkan beberapa gambar adegan lesbian barusan.
Kontan saat melihat itu semua Rania kaget sekali, dia tertegun sesaat berharap ini hanyalah mimpi.
“Bajingan !” bentaknya, Rania naik darah dan mau merangsek ke depan namun Ellen menahannya.
“Hahaha…marah ya ? kenapa ga marahin juga perek di sebelah Ibu itu, dia kan juga ikutan dalam rencana ini ?” Imron mengejek dengan senyum kemenangan.
“Hah…Ellen, jadi kamu…?” Rania tercekat seakan tidak percaya semuanya.
Jelaslah kini bahwa yang terjadi sejak bubaran kelas tadi sudah diatur dalam rencana jahat Imron, Ellen yang sudah menjadi budak seksnya hanyalah pion untuk menjebak dosennya itu dan diam-diam Imron mensyuting mereka dari lubang angin di atas pintu ketika mereka bermesraan tadi.
“Maafin saya Ci, saya juga dijebak dan dipaksa jadi gak ada pilihan lain” Ellen tertunduk tak berani melihat wajah dosennya dan terisak.
“Nah, sekarang gimana nih keputusannya Bu, saya yakin Ibu juga masih konak gara-gara tadi sempat tanggung, ya ga ?” Imron mulai berjalan mendekatinya.
Tiba-tiba Ellen maju ke depan menghalangi Imron yang hendak memeluk Rania.
“Pak, saya rela Bapak perlakukakan apapun, tapi tolong jangan libatin Ci Nia, dia itu orang baik !” mata Ellen yang berkaca-kaca saling tatap dengan Imron dan memohon padanya.
Imron hanya menyeringai membalas tatapannya, diangkatnya dagu gadis itu, tiba-tiba…’plak !’ sebuah tamparan mendarat di pipinya. Ellen limbung ke belakang dan Rania sempat menjerit kecil sambil mendekap tubuh mahasiswinya itu.
“Masih mau jadi pahlawan, heh ?” kata Imron, dengan santainya dia meraih sebuah bangku dan duduk disana.
“Non Ellen, sini !” perintahnya
Rania menatap mahasiswinya itu seraya menggelengkan kepala seolah mengatakan ‘jangan turuti dia’, namun Ellen malahan melepas genggaman tangan dosennya dan berjalan ke arah pria setengah baya itu.
“Maaf !” cuma itulah yang terucap dari mulutnya.
Kini Ellen telah menjadi salah satu budak seks Imron yang mau tidak mau menuruti apa yang dikehendaki Imron terhadapnya. Sejak diperkosa di basement parkir beberapa bulan yang lalu, beberapa kali Imron kembali melampiaskan nafsu binatangnya padanya baik dalam seks kilat, oral seks, maupun hubungan badan sepenuhnya. Lama-lama dirinya pun mulai menikmati disamping ada perasaan malu dan bersalah juga pada pacarnya. Imron kini membuka lebar pahanya dan disuruhnya gadis itu berlutut di depannya. Kemudian dia memberi syarat dengan menggerakkan bola matanya ke bawah.
“Sekarang?” Ellen yang sudah tau apa yang diinginkan Imron sepertinya ragu melakukannya.
“Iya dong Non, biar dosen kamu tahu enaknya, kita ajarin juga dia caranya !”
Seolah dihipnotis, Ellen pun mulai membuka resleting celana Imron dan menurunkan celana dalam di baliknya sehingga tersembullah penis yang sudah mengacung tegak itu.
“Ellen, hentikan !” Rania berseru mencegah hal lebih lanjut.
“Lho kok Ibu main larang-larangan sih, orang dianya sendiri yang mau kok, tuh liat !” kata Imron “Ayo Non, sekarang mana servisnya, ayo jangan malu-malu, dia juga nanti ikutan kok !”
“Ya Tuhan, Ellen…kenapa…kenapa !?” Rania terperangah sampai membekap mulutnya sendiri melihat mahasiswinya mulai mengoral penis Imron, tangannya yang mungil itu sesekali mengocoknya, yang lebih gila dia juga terlihat begitu menikmatinya, padahal dirinya sudah merinding melihat penis hitam bersunat yang kepalanya agak merah itu.
“Aahh…enaknya, lihat sendiri kan Bu, murid Ibu aja ketagihan sama kontol saya” Imron mengelus rambut Ellen menyuruhnya terus mengulum “Cepetan Bu gimana keputusannya, mungkin Ibu gak takut risiko perbuatan Ibu tadi, tapi apa Ibu gak kasian kalo gambar-gambar syur murid Ibu ini tertempel di papan pengumuman ?”
Ellen terhenyak dan menghentikan kulumannya
“Heh, siapa suruh berhenti, cepet terusin ! jangan ikut campur !” bentak Imron menyuruh Ellen meneruskan kegiatannya.
“Iya-iya, oke, saya menyerah Pak, tapi tolong jangan mempersulit dia lagi !” jawab Rania panik “dan tolong, jangan omong apa-apa tentang semua ini” tambahnya gugup.
“Nah, gitu dong Bu, baru namanya dosen yang baik, ayo dong, sini mendekat kalau memang setuju !” Imron melambaikan tangan menyuruhnya mendekat.
Rania berhenti di sebelah Imron, perasaannya luar biasa galau, marah, jijik, dan takut, namun dia juga mulai terangsang melihat Ellen mengoral Imron di depan matanya. Semua dia lakukan karena tidak ada pilihan lain untuk menutupi aibnya, juga demi muridnya. Darahnya berdesir ketika tangan kasar itu meraih betisnya, tangan itu terus naik mengangkat roknya dan mengelusi pahanya yang mulus.
“Paha yang indah, pasti waktu Ibu ngajar mahasiswanya ngebayangin bisa ngeliat ke dalam sini heheheh !” celoteh Imron
Rania hanya memalingkan wajahnya ke samping dengan perasaan sangat terhina dengan perlakuan seperti itu. Sikap pasrahnya membuat Imron makin menjadi, tangannya makin menjalar ke atas hingga meremas pantatnya.
“Wuih, montok amat sih Bu, betah deh saya lama-lama di kelas kalo jadi murid Ibu” katanya mengagumi keindahan tubuhnya “dibuka aja Bu roknya, biar lebih afdol !”
Imron mengulurkan tangannya yang satu untuk membuka ikat pinggangnya dan disuruhnya Rania membuka resletingnya di belakang. Dengan berat hati Rania pun membuka resletingnya hingga rok itu meluncur jatuh. Setelah rok itu lepas, maka yang nampak adalah sepasang paha jenjang Rania yang mulus dengan celana dalam pink menutupi daerah terlarangnya. Imron lalu merangkul pinggang ramping itu membawa tubuhnya lebih mendekat. Paha mulus itu lalu dia ciumi inci demi inci sementara tangannya mengelusi paha yang lain. Rania merinding merasakan sapuan lidah dan dengusan nafas pria itu pada kulit pahanya, libidonya makin naik apalagi melihat Ellen yang tengah menjilati kepala penis itu sambil memijit zakarnya.
“Ssshhh…!” sebuah desisan keluar dari mulutnya ketika jari Imron menyentuh bagian tengah celana dalamnya.
Secara perlahan Imron menurunkan celana dalam itu hingga ke lutut, matanya nanar memandangi kemaluan Rania yang masih rapat dan berbulu lebat itu.
“Pelan-pelan yah, usahain jangan cepat keluar, ntar dosen Non ga kebagian !” dia berpesan sejenak pada Ellen sebelum kembali memusatkan perhatiannya pada vagina Rania.
Selanjutnya Imron membenamkan wajahnya pada kemaluan Rania, dengan rakus menjilati vaginanya. Tangan kirinya mengelusi paha dan pantatnya, terkadang jarinya iseng menyusup ke pantatnya.
“Aahhh…Pak…aahhh…jangan !” Rania mendesah antara menolak dan menikmati saat lidah Imron menelusuri gundukan bukit kemaluannya
Tanpa disadari kakinya melebar sehingga memberi ruang lebih luas bagi Imron untuk menjilatinya. Tubuh Rania seperti kesetrum ketika lidah Imron yang hangat membelah bibir kemaluannya memasuki liangnya serta menari-nari di dalamnya. Di tempat lain, Ellen juga makin terangsang melihat adegan Imron dengan dosennya, sambil menjilati penis Imron perlahan, dia juga meremasi payudaranya sendiri. Kedua buah pelir Imron sesekali diemutnya bergantian membuat pemiliknya keenakan, apalagi dengan dilayani dua wanita cantik ini. Rania semakin tak kuasa menahan kenikmatan itu, dia bergerak tak karuan akibat jilatan Imron sehingga Imron harus memegangi tubuhnya.
“Pak…ahhh…oohh !” desahnya dengan tubuh bergetar merasakan lidah Imron memainkan klitorisnya.
“Mmmm….enak kan Bu ?” sahut Imron.”udah dulu ah, sekarang giliran Ibu yang mainin punya saya, ayo jongkok sini !” katanya seraya membuka paha lebih lebar.
Terus terang Rania merasa sangat tanggung Imron menghentikan jilatannya, dalam hati kecilnya sebenarnya masih ingin menikmatinya, namun tidak mungkin dia memintanya lagi demi menjaga harga dirinya. Maka ketika disuruh Imron mengoral penisnya diapun tanpa diperintah dua kali berlutut di hadapan pemerkosanya.
“Eit-eit tunggu dulu Bu, bajunya dibuka aja biar enak” Imron melucuti baju Rania yang baru berlutut di depannya, cup branya sudah melorot karena tidak sempat dinaikan waktu kepergok tadi sehingga langsung mempertontonkan payudaranya “Non juga, yang namanya ngentot mana enak pake baju !” katanya lagi pada Ellen
Ellen pun berdiri sejenak, pakaiannya satu-persatu terlepas dari tubuhnya sampai yang terakhir yaitu celana dalamnya. Diam-diam Rania memperhatikan tubuh indah Ellen dan sempat membandingkan dengan dirinya, dia kagum dan iri dengan lingkar pinggang mahasiswinya yang lebih ramping darinya, namun dia juga merasa bangga dengan payudaranya yang lebih bulat dan membusung dibanding Ellen, bagaimanapun secara keseluruhan keduanya memiliki bentuk tubuh ideal.
Imron menarik tubuh Ellen yang telah polos dan didudukkan ke paha kirinya, dia mulai mengelusi payudaranya, putingnya dia pilin-pilin seperti malam mainan, tangan lainnya menyelusuri lekuk tubuh lainnya.
“Tunggu apa lagi Bu, sekarang giliran Ibu ngelayanin burung saya !” sahut Imron pada Rania yang bengong menyaksikan mereka.
Dengan tangan gemetar dia melingkarkan telapak tangannya pada penis itu, basah dan mengkilap karena sisa ludah Ellen. Baru kali ini dia melihat penis secara langsung, bahkan milik tunangannya yang sedang S2 di Australia pun baru pernah dirasakan bergesekan dengannya ketika petting, namun belum pernah mencoba yang lebih jauh.
“Ayoh cepat, mau foto-fotonya dipajang apa ?” ulangnya tidak sabar sambil memencet payudara Ellen sehingga gadis itu merintih kesakitan.
Tidak tega melihat muridnya disiksa, diapun mulai memasukkan kepala penis itu ke mulutnya. Imron mendesah merasakan kehangatan mulut Rania, sentuhan lidahnya memberi sensasi nikmat padanya. Dengan menahan jijik dia menjilati sekujur batang penis itu.
“Eeenngghh…aahh…aahh !” terdengar desahan Ellen yang payudaranya sedang dikenyot-kenyot si penjaga kampus itu, di vaginanya bercokol tangan kasar itu mengelusi serta mengocok liang kemaluannya.
Rania menggerakan mata melihat ke atas, apa yang dia lihat di sana malah membakar nafsunya yang pelampiasannya dia curahkan dalam bentuk oral seks. Penis itu semakin mengeras dan berkedut-kedut di dalam mulut Rania serta menebar rasa asin. Dia sendiri tidak tahu bagaimana dia bisa segila ini, namun situasi saat itu ditambah jilatan Imron yang tanggung tadi membuat gairahnya menggebu-gebu. Penis yang besar mengerikan itu tidak muat seluruhnya ke dalam mulutnya yang mungil, maka sesekali Imron menekan kepalanya agar bisa masuk lebih dalam lagi
“Lagi Bu, kurang masuk, aahhh…yak gitu dong !” demikian katanya.
Sementara itu vagina Ellen makin banyak mengeluarkan cairan akibat kocokan jari Imron, cairan itu membasahi paha Imron tempatnya berpangku. Imron sedang asyik menjilati payudara kanan Ellen sampai basah kuyup oleh ludahnya, sengaja dia tidak menggigit maupun mengenyotnya dengan maksud mempermainkan nafsu gadis itu, dan benar saja Ellen mendesah makin tak karuan karenanya.
Rasa jijik yang tadinya begitu melingkupinya perlahan-lahan sirna, Rania mulai menikmati oral seks pertamanya, dimaju-mundukannya kepalanya seperti yang pernah dia dengar dari obrolan dengan teman-temannya, lidahnya menjilat memutar kepala penisnya, akibatnya Imron keenakan dan mengerang-ngerang.
“Uuaaahh…terus Bu, enak banget, harusnya Ibu ngajar mata kuliah ngentot juga hehehe !” ejek Imron
Kurang ajar sekali kata-kata itu, Rania merasa harga dirinya direndahkan sebagai seorang wanita terhormat, terpelajar, dan berprofesi sebagai pendidik pula, namun dia telah terpelosok ke dalam perangkap birahi ini, kini dia telah menjadi salah satu budak seks Imron. Tak lama kemudian, dengan tangan kiri tetap menggerayangi payudara Ellen, tangan kanannya menjambak rambut Rania serta menekannya ke selangkangannya. Mata Rania membelakak, dia gelagapan karena mulutnya penuh sesak dengan penis, lebih kaget lagi ketika dirasakan cairan kental hangat memenuhi mulutnya, dia meronta hendak melepaskan diri namun kekuatannya tidak cukup untuk itu. Selama beberapa detik cairan itu menyemprot mulutnya, lalu Imron menarik lepas kepalanya dari penis itu, maka semprotannya yang belum habis pun mengenai wajahnya
Rania langsung batuk-batuk begitu benda itu lepas dari mulutnya karena sempat tersedak dan baru pertama kali mengalami seperti itu. Aroma sperma yang menusuk itu membuatnya jijik dan ingin muntah.
“Non, bantuin tuh dosennya bersihin peju !” perintahnya pada Ellen.
Ellen pun berlutut di samping dosennya dan memegangi pundaknya.
“Maaf Ci !” ucapnya diteruskan menjilati sperma Imron yang tumpah di wajahnya.
Dengan lidahnya Ellen membersihkan sperma yang menyiprat di pipi, hidung, dan dagu dosennya hingga akhirnya mulut mereka pun bertemu. Rania mulai berani melingkarkan tangannya ke tubuh Ellen dan meraba punggungnya yang halus. Demikian juga Ellen, dia membuka kait bra Rania yang sudah tersingkap sehingga bra tanpa tali pundak itu pun terjatuh. Perasaan malu, risih, dan lain-lain hilang karena kenikmatan yang terus menerpa tubuh, kedua wanita muda yang telah telanjang bulat itu berciuman dengan panasnya. Imron benar-benar telah menguasai mereka dengan menjadikan mereka menuruti apa saja fantasi dan hasrat gilanya, segaris senyum pun muncul di wajahnya melihat hasil perbuatan jahatnya.
Imron bangkit dan melepaskan seragam karyawannya, terlihatlah tubuhnya yang berisi dan bekas luka memanjang di dadanya yang menambah kesan sangar.
“Ayo-ayo, yang disini juga dibersihin, masih ada sisanya nih !” sambil menyodorkan penisnya yang masih basah pada mereka.
Imron mendesah merasakan sapuan lidah kedua wanita cantik itu pada penisnya, mereka berbagi mengoral penis itu, ada yang memasukkan ke mulut ada menjilati zakarnya. Cuma sebentar saja Imron memberikan penisnya dioral mereka, setelahnya dia mengangkat lengan Rania hingga tubuhnya berdiri. Rania disuruh nungging dengan tangan bertumpu pada meja, dia sudah merasakan benda tumpul menyentuh vaginanya dari belakang yang berarti sudah memasuki detik-detik akhir kehilangan keperawanannya. Kepala penis itu mulai masuk membelah bibir vaginanya perlahan-lahan, erangan Rania mengiringi masuknya benda itu. Hingga suatu saat Imron mendorong keras penisnya hingga mentok.
“Aaahhkkkk….!!” Rania menjerit dengan mata membelakak, sakit sekali rasanya pertama kali sudah ditusuk penis sebesar itu.
Imron juga melenguh panjang karena penisnya terasa terjepit kencang sekali oleh dinding vagina Rania yang masih sempit. Dia mendiamkan dulu penisnya disana selama beberapa saat menikmati himpitan vaginanya sehingga Raniapun memiliki waktu untuk beradaptasi dan menghirup udara segar.
“Ternyata Ibu emang dosen yang baik yah, murid ibu si perek itu aja waktu saya entot udah jebol duluan, tapi Ibu masih perawan, enak banget loh, huehehe…!!” kata-kata Imron membuat telinga Rania dan Ellen panas.
Penis itu rasanya sungguh menyesakkan bagi Rania, tapi terus terang barang itu juga menuntaskan hasratnya yang sempat tertunda tadi. Perlahan Imron mulai menggenjotnya, dengan bantuan cairan kewanitaan dan ludah penisnya keluar masuk lebih lancer. Tanpa dapat disangkal Rania mulai merasakan nikmat yang tak terlukiskan disamping rasa perih tentu saja. Sambil menggenjot, Imron juga meremasi payudara Rania yang menggantung, putingnya dia main-mainkan sehingga nafsu Rania makin meningkat saja.
Di tempat lain, Ellen berdiri dengan tangannya membelai-belai vaginanya sendiri menyaksikan dosennya diperkosa di depan matanya sendiri. Dalam hatinya berkecamuk berbagai perasaan, di satu sisi dia merasa kasihan melihat dosennya yang ramah dan begitu dekat dengan anak didiknya harus mengalami nasib serupa dengan dirinya dan dia tidak berdaya untuk menolongnya malahan turut andil menjebaknya, namun disisi lain dia juga begitu terangsang melihat penis yang sering menusuknya itu keluar masuk di vagina Rania yang masih sempit. Secara naluriah, Ellen naik ke tengah meja menghadap Rania, kemudian kedua pahanya dia buka.
“Ci Nia, tolong yah…saya gak tahan !” pintanya dengan dua jari membuka bibir vaginanya.
Dorongan birahi yang tinggi menyebabkan Rania mendekatkan wajahnya ke selangkangan muridnya itu, lidahnya pun menyentuh bibir vagina yang merah merekah itu sehingga pemiliknya mendesah.
“Sshhh…uuummm….aaahhh !” desah Ellen menikmati jilatan dosennya pada vaginanya “Emmhh…yahh…disitu Ci, terusin…aaahh !” desisnya lagi ketika lidah Rania bertemu klitorisnya.
Rania membuka pahanya lebih lebar seiring dengan sodokan Imron yang semakin ganas agar tidak terlalu perih. Selain itu dia juga mulai menggerakkan pinggulnya mengikuti irama goyangan Imron. Sementara di atas meja, Ellen mendesah makin tak karuan oleh jilatan-jilatan Rania pada vaginanya, tangannya meremasi dan memainkan putingnya sendiri. Tak lama kemudian, diapun orgasme dengan melelehkan cairan bening dari vaginanya membasahi meja, awalnya Rania merasa aneh begitu cairan itu keluar, sebelumnya belum pernah dia merasakan cairan sesama jenisnya, tapi gelombang birahi yang menerpanya menggerakkan dirinya menjilati cairan itu. Nafas Ellen nampak ngos-ngosan sehingga dadanya turun-naik akibat orgasme yang dialaminya. Hal serupa juga mulai dirasakan Rania, otot-otot vaginanya terasa berkontraksi lebih cepat seperti ada yang mau meledak di bawah sana, cairan yang keluar dari sana juga sepertinya semakin banyak. Akhirnya tubuhnya benar-benar mengejang semua bersamaan dengan erangan panjang, cairan kewanitaan meleleh dari vaginanya tanpa terbendung membasahi paha dalamnya, cairan itu kemerahan karena bercampur darah keperawanannya.
Selanjutnya, Imron membaringkan tubuh Rania di lantai yang dingin lalu dia menindihnya. Diciuminya Rania dengan penuh nafsu. Hhmmphh….Rania gelagapan dan mencoba mendorong badannya tapi tidak mampu. Lidah Imron terus menyapu-nyapu bibirnya yang tipis dan akhirnya memasuki mulutnya, liurnya pun tercampur dengan liur Rania. Bau nafasnya yang tidak sedap membuat Rania terganggu, tapi itu tidak lama karena Imron dengan lihainya membangkitkan kembali gairah Rania dengan menggerayangi tubuhnya, ditambah lagi desahan Ellen yang bermasturbasi di atas meja. Naluri seks Rania bereaksi dengan mengimbangi serbuan mulut Imron, digerakkannya lidahnya membalas lidah Imron yang menjelajahi mulutnya. Sesaat kemudian, mulut Imron turun ke dadanya dan langsung menyambar putingnya, tangannya mempermainkan payudaranya yang satunya. Dengan cepatnya nafsu Rania naik lagi, dia mendesah sambil menggigiti jari, sesekali merintih kalau Imron menggigitnya. Sebentar saja wilayah dada Rania sudah basah bukan cuma oleh keringat tapi juga oleh air liur Imron.
Imron membuka kedua belah paha Rania dan menempatkan dirinya diantara kedua pahanya hingga alat vital mereka bersentuhan. Tangannya mengarahkan penisnya yang besar itu ke sasarannya yang telah pasrah. Badan Rania bergetar begitu penis itu kembali menusuknya, tangannya mencengkram erat bahu Imron. Imron merasa sangat puas melihat ekspresi wajah Rania yang meringis dan merintih-rintih, Imron melakukannya dengan kombinasi kasar dan halus yang tepat sehingga Rania menikmati hubungan badan pertamanya ini. Setelah masuk sebagian, Imron menekan pantatnya hingga penisnya pun terdorong masuk ke vagina Rania.
“Aaaa…aaauuhhh !” terdengar jeritan kecil kesakitan yang bercampur nikmat.
Imron pun mulai menaik-turunkan tubuhnya diatas tubuh telanjang Rania. Rania menggigit bibir bawah menahan nikmat, sesekali mulutnya mengeluarkan desahan. Tanpa disadari tangannya memeluk Imron, si pemerkosa itu, kedua kakinya juga melingkari pinggang Imron seolah mengisyaratkan ‘terus Pak, masukin lebih dalam please’. Bibir tebal Imron menelusuri leher jenjangnya, meninggalkan jejak ludah dan cupangan, selain itu lidah itu juga menggelikitik telinganya.
“Aahh…ahhh…memek Ibu enak banget, baru tau enaknya ngentot kan, heh dosen perek uuhh…mmmhh !” kata Imron dekat telinganya.
Rania sudah tidak mempedulikan lagi hinaan yang merendahkan dirinya itu, sebaliknya kata-kata itu seperti mantra yang meningkatkan gairahnya dan membuatnya patuh bagaikan budak, dan itulah kenyataannya, dia telah menjadi budak seks Imron yang harus patuh dan bersedia diapakan saja. Rania sempat menggulirkan bola matanya untuk melihat keadaan Ellen, mahasiswinya, dia menemukan Ellen diatas kursi sedang mengeluar-masukkan ujung bolpen yang tumpul ke kemaluannya, tangan satunya meremasi payudaranya sendiri sambil menyaksikan dirinya digumuli. Wajah Ellen yang putih itu merona merah akibat terangsang berat. Imron semakin cepat menggerakkan pinggangnya naik turun, nafas keduanya memburu dan mendesah tak karuan.
“Aahhh…aahhh !!” akhirnya Rania kembali mencapai klimaksnya, vaginanya semakin banjir saja karenanya.
Gelombang orgasme bagaikan mengangkatnya ke langit ketujuh, matanya merem-melek tidak tahu bagaimana lagi mengekspresikan kenikmatan itu selain dengan desahan panjang.
Sepertinya Imron mengerti keadaan Rania yang sudah kelelahan, dia pun mencabut penisnya yang masih tegak dari vagina Rania. Dipanggilnya Ellen mendekat lalu disuruhnya berposisi doggie, begitu juga Rania yang masih lemas diaturnya hingga menungging bersebelahan dengan Ellen. Kali ini dia menusuk vagina Ellen sedangkan jarinya mengaduk-aduk vagina Rania. Kemaluan Ellen yang sudah basah berlendir menyebabkan penis Imron tambah kencang sodokannya. Erangan kedua wanita itu memenuhi ruang itu bahkan terdengar keluar dalam jarak dua ruang kelas, namun siapa yang mengetahui apa yang terjadi di ruang itu, pada saat itu sudah tidak ada siapapun disana, satpam pun hanya berjaga di pos depan yang jauh dari situ. Tidak sampai sepuluh menit Ellen yang sejak tadi terangsang berat mencapai orgasmenya, tubuhnya mengejang disertai desahan panjang. Imron melepaskan penisnya dan Ellen pun terkulai lemas di lantai, kembali dia beralih ke Rania. Hari itu Imron memperlakukan Ellen sebagai menu sampingan karena dia masih ingin merasakan kenikmatan lebih jauh dengan menu utama atau mainan barunya, Rania.
Kini disuruhnya Rania dalam posisi merangkak di atas tubuh Ellen yang dia telentangkan. Buah dada keduanya bertemu dan saling menghimpit, Imron mulai menghentakkan tubuhnya yang telah menyatu dengan Rania. Aahh…nikmatnya, Rania merem-melek menikmati sodokan Imron yang dengan puas menggarapnya. Dengan Ellen dia berpelukan dan saling memagut bibir, keduanya beradu lidah dengan liarnya. Lagi enak-enaknya menikmati genjotan dan ciuman, Rania merasa rambutnya ditarik, lengan Imron satu melingkari dadanya juga menariknya ke belakang. Imron mendudukkan diri di lantai sehingga kini Rania berada di pangkuannya dengan memunggunginya. Awalnya Imron menyentak pinggulnya agar penisnya menyodok-nyodok vagina Rania, namun setelah dua menitan Imron menghentikannya dan kini malah Ranialah yang dengan sendirinya menaik-turunkan tubuhnya dengan bersemangat. Dia juga membiarkan Imron mencupangi leher dan bahunya, di depannya Ellen juga ikut mengenyot payudaranya sambil menggosok-gosok kemaluannya sendiri. Dengan mata terpejam, Rania menghayati permainan itu, mulutnya terus menceracau tak jelas.
Tak lama kemudian kembali gelombang orgasme melandanya, daerah selangkangannya semakin basah karenanya. Imron terus menekan-nekan tubuh Rania selama beberapa saat ke depan sampai akhirnya dia pun memenggeram dan memeluk erat Rania. Sesuatu yang hangat terasa di dalam kemaluannya, ya, cairan sperma Imron memang sudah mengisi rongga kewanitaannya, sebagian berleleran ke luar bercampur dengan darah dan cairan vagina. Di saat itu juga Ellen juga mencapai kepuasan hasil gesekan dengan jarinya sendiri, jari-jarinya yang lentik telah basah oleh cairan itu. Setelah puas dengan kehangatan tubuh Rania, Imron melepas pelukannya sehingga Rania tergolek lemas. Setelah reda birahinya, Rania baru mulai didera penyesalan telah mengkhianati tunangannya dan terjerumus ke dalam perangkap seks ini, bahkan sempat menikmatinya. Sekalipun dia seorang wanita yang tegar, saat itu air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. Ellen mengangkat punggungnya dan menyandarkannya pada tubuhnya dengan maksud menenangkannya, dalam pelukan Ellen lah Rania menangis terisak-isak. Sementara Imron melihat mereka sambil merokok dan menyeringai puas.
Sejak malam itulah kehidupan Rania berubah seperti halnya para korban Imron lainnya. Di satu waktu mereka memang mahasiswi dan dosen yang terpelajar, wanita-wanita muda yang menikmati hari-hari mereka, wanita yang menjadi teman atau pacar yang baik, namun di lain waktu, ketika ponsel mereka berbunyi atau ketika isyarat dari pria setengah baya itu muncul, mereka harus siap menjadi mesin pemuas nafsu binatang yang entah sampai kapan berakhir, karena merekapun telah terjerat dalam hasrat terliar mereka sendiri. Akankah lingkaran setan ini bertambah besar seiring dengan aksi Imron yang makin merajarela ? Akankah muncul seorang pahlawan yang akan membebaskan wanita-wanita malang ini kelak ? Belum ada yang bisa menjawabnya, setidaknya untuk sekarang.

Nightmare Campus 3: Fall of the Pride


Sherin



2 Juli 2007 oleh shusaku
Sebagai seorang gadis 21 tahun yang sedang mekar-mekarnya, kehidupan Sherin, mahasiswi sastra Inggris semester lima di Universitas ****** dipenuhi keceriaan, hari-harinya dilalui dengan kuliah, dugem, ngerumpi bareng teman-teman, shopping, pacaran, dan kegiatan-kegiatan gadis kuliahan pada umumnya. Anak tunggal seorang pemilik pabrik makanan ringan ternama, dia juga dianugerahi wajah cantik dan tubuh jangkung yang indah serta kulit yang putih, rambutnya coklat sebahu lebih dan ujungnya agak bergelombang. Sherin juga amat menjaga penampilannya dengan fitness, spa, dan ke salon secara rutin, dia memang ingin selalu terlihat cantik di depan Frans, pacarnya sehingga banyak cowok lain sirik dengan Frans ketika sedang jalan bareng.
Terlepas dari itu semua, Sherin juga memiliki perangai buruk, sebagai seorang anak tunggal keluarga kaya yang hidup serba berkecukupan seringkali dia memandang rendah orang yang lebih rendah kedudukannya, salah satunya yang sering kena marah olehnya adalah Nurdin, sopir yang bertugas mengantar-jemputnya. Pernah sekali waktu dia telat menjemput karena jalan macet akibat ada demo, sesampainya disana Sherin menyemprotnya habis-habisan dengan judesnya di lapangan parkir sampai terlihat beberapa orang lewat dan satpam disana. Sungguh pedih hati sopir itu direndahkan di depan umum oleh nona majikannya, dia sudah lama bersabar menghadapi keangkuhan gadis ini, kali ini dia sudah tidak tahan lagi dan berpikir akan mengundurkan diri saja, tapi sebelum mundur sebuah kesempatan emas untuk memberi ‘pelajaran’ pada nona majikannya yang sombong itu menghampirinya lewat obrolan dengan Imron, si penjaga kampus bejat yang hobi memperkosa korbannya lewat foto-foto memalukan yang diambil dengan cameraphone hasil temuannya.
Mimpi buruk Sherin berawal ketika suatu hari setelah bermain basket di bangsal kampus, dia bersama teman-temannya menuju toilet di sana untuk ganti baju. Dia memasuki toilet kedua dari ujung yang ternyata adalah sebuah pilihan fatal, karena di sebelahnya Imron telah lama menanti mangsa yang masuk kesana selama hampir setengah jam. Dengan sabarnya dia menanti dan melihat situasi melalui celah di pintu. Memang yang memasuki toilet sebelahnya bukan cuma Sherin, sebelumnya telah ada beberapa orang masuk ke sana, namun saat itu di depan toilet juga masih banyak orang, sehingga kalau Imron menjulurkan tangannya melalui tembok pembatas yang bagian atasnya terbuka untuk mengarahkan cameraphonenya tentu akan ketahuan oleh orang dari luar. Diapun sempat melihat tubuh-tubuh mulus mereka yang ganti baju di luar toilet, tapi untuk mengambil gambarnya susah, risiko untuk ketahuan terlalu besar dan ketika dia coba memotret dari celah pintu yang sempit itu hasilnya tidak maksimal, maka dia memutuskan menunggu orang memasuki toilet sebelah ketika situasi di luarnya sudah sepi, sambil berharap orang itu cantik.
Kesalahan Sherin adalah dia memasuki toilet saat orang lain banyak yang sudah keluar, karena sebelumnya dia ke kantin dulu membeli minum dan duduk sebentar merenggangkan otot. Ketika dia memasuki toilet, dua temannya yang masih disanapun sudah hampir selesai, Imron tersenyum kegirangan begitu dilihatnya kedua orang itupun akhirnya keluar juga.
“Yuk, Sher…kita duluan yah !” seru salah satunya sambil membuka pintu keluar
“Iya-iya, see you, duluan aja gih !” balasnya dari dalam
Sherin melepaskan bajunya yang berkeringat dan disusul celana olah raganya bersamaan dengan celana dalamnya, hanya dengan memakai bra pink dia duduk di kloset untuk buang air kecil. Dia tidak menyadari diatasnya Imron dengan hati-hati mengintipnya sambil menyutingnya dengan kameraphone. Tiga menit saja, video klip yang terekam cukup jelas memperlihatkan wajah, tubuh, dan adegan buang air kecilnya. Sebelum gadis itu keluar, Imron cepat-cepat turun dari pijakannya lalu keluar dari toilet itu dengan hati-hati.
Hari itu masih sekitar jam dua siang dan masih banyak tugas yang harus diselesaikan Imron, terutama karena sempat tertunda ketika menanti mangsa di toilet itu. Maka niat buruknya lebih baik ditundanya daripada melakukannya dengan diburu-buru pekerjaan, lagipula rekaman tiga menitan itu sudah menjadikan gadis itu sudah dalam genggamannya, selain itu juga dia mengenal sopir yang mengantar jemputnya yang sering ngobrol di waktu senggang. Kebetulan belum lama ini dia mendengar keluhan Nurdin, si sopir itu tentang anak gadis majikannya dan berencana mengundurkan diri mencari kerja lain. Imron sendiri pernah mendapat perlakuan tidak enak dari gadis itu setahun sebelumnya.
Saat itu Sherin sedang terburu-buru menuruni tangga, karena memakai sepatu sol tinggi dan tidak hati-hati dia terpeleset jatuh, jatuhnya tidak tinggi sehingga tidak berbahaya, tapi karena waktu itu dia memakai rok diatas lutut tentu saja paha mulus dan celana dalamnya sempat tersingkap. Imron, yang waktu itu sedang menyapu dekat tangga itu memunguti tasnya dan membantunya bangkit, namun Sherin malah membalasnya dengan makian kasar
“Tua bangka, lepasin tangan lo, mau cari kesempatan yah pegang-pegang !” katanya dengan sengit menepis tangan Imron “Emang saya ga tau apa daritadi mata lu ngeliat kemana aja ? lu pikir siapa lu, dasar kampungan ga tau diri !” bentak Sherin sambil berlalu darinya, tangannya masih memegangi pantatnya yang kesakitan. Imron hanya tertunduk menerima penghinaan itu tanpa sempat memberi penjelasan, walaupun ada rasa marah tapi dia mencoba memendamnya mengingat usahanya merubah diri, namun begitu menemukan cameraphone itu niat jahat dan nafsu balas dendamnya bangkit kembali dan menghantui kampus itu.
Hari itu, Sherin sedang di perpustakaan mencari buku untuk tugas ketika sebuah MMS masuk ke ponselnya. Dibukanya pesan dengan nomor tak dikenal itu. Wajahnya langsung pucat dengan mulut ternganga, jantungnya seakan berhenti berdetak sehingga buku yang dipegangnya jatuh terlepas dari genggamannya begitu melihat rekaman yang memperlihatkan dirinya sedang ganti baju dan buang air kecil di toilet, dibawahnya juga ada pesan :
“kalau tidak mau ini tersebar, saya tunggu di gedung kesenian ruang F-307 jam empat hari ini”
“Sher, kenapa lu ? ga enak badan ?” tanya temannya yang sedang mencari buku tidak jauh darinya.
“Ohh…ngga-ga papah kok, cuma buku jatuh aja ehehhe !” Sherin menutupi kekagetannya dengan tawa dipaksa.
Setelah itu buru-buru dia keluar dari perpustakaan mencari tempat sepi untuk menelepon nomor itu.
“Hehehe, udah diterima pesannya Non ? bagus kan ?” kata suara berat diseberang sana begitu ponsel diangkat.
“Heh, kurang ajar lu yah, siapa lu sebenernya hah !” suaranya meninggi menahan amarah dalam dadanya.
“Udah gak sabar yah Non, tunggu aja nanti sore, kita bakal membicarakan penawaran menarik buat film Non itu !” jawab Imron dengan kalem
“Bajingan, lu emang setan, jangan macem-macem yah sama gua !” Sherin demikian marah dan frustasinya sampai mau nangis.
“Udahlah Non, capek marah-marah gitu, pokoknya saya tunggu nanti di F-307, saya sekarang masih banyak kerjaan, dan satu lagi, pastikan jangan ada orang lain yang tahu kalau ga mau dapat susah !” selesai berkata Imron menutup ponselnya.
Sebenarnya jam tiga kurangpun dia sudah tidak ada kuliah lagi. Setelah menyuruh Nurdin yang telah menjemputnya untuk menunggu dia pergi ke kantin untuk menunggu waktu yang ditentukan. Matanya tertuju ke novel yang dibawanya tetapi pikirannya tidak di sana, yang ada di pikirannya adalah bayangan mengerikan tentang apa yang diinginkan pengintip misterius itu pada dirinya dan bagaimana kalau rekaman itu tersebar. Saking stressnya, tanpa terasa dua batang rokok telah dihabiskannya. Tiba-tiba ponselnya berbunyi, pengintip misterius itu menghubunginya.
“Udah keluar yah Non, kalo gitu sekarang aja ke atas aja supaya lebih cepat beres, saya sudah nunggu di sini juga kok”
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Sherin langsung mematikan ponselnya dan beranjak ke tempat yang ditentukan. Lantai itu memang sudah sepi, ketika naik tangga saja dia cuma berpapasan dengan dua orang pegawai tata usaha fakultas yang baru selesai kerja. Semakin langkahnya mendekati ruang itu, semakin berdebar pula jantungnya.
“Halo Non Sherin, datang juga akhirnya !” sapa Imron begitu Sherin memasuki pintu yang setengah terbuka itu.”Mungkin Non lagi nyari orang yang merekam ini ya ?” tanyanya sambil menunjukkan cameraphonenya.
Sherin melihat dalam layar kecil itu dimana dirinya sedang ganti baju lalu buang air kecil, wajahnya kontan memerah karena marah dan malu.
“Bajingan, serahkan barang itu !” Sherin berteriak sambil merangsek ke depan.
Dia berusaha merebut cameraphone itu, tapi pria setengah baya itu lebih sigap dan tenaganya lebih besar. Dengan mudah didorongnya gadis itu hingga tersungkur di lantai. Sambil menyeringai matanya memandang tajam tubuh Sherin yang terbungkus baju biru bermotif bunga tanpa lengan, rok putihnya yang mini sedikit tersingkap memperlihatkan pahanya yang panjang dan mulus.
“Mau apa kamu bangsat, jangan mendekat, pergi !” Sherin menggeser-geser tubuhnya menjauh dari Imron yang mendekatinya, dalam kepanikannya dia tidak sadar bahwa roknya semakin tersingkap dan celana dalamnya pun sempat terlihat.
“Tenang Non, jangan takut, bapak ga bakal nyakitin Non kok, malah ngasih Non kenikmatan yang luar biasa !” katanya sambil cengengesan.
Baru pernah seumur hidupnya Sherin mendengar perkataan yang sangat merendahkannya itu, omongannya benar-benar rendah dan menjijikkan menyebabkan bulu kuduknya merinding ketakutan. Susah payah akhirnya dia bisa bangkit kembali dan berusaha mencapai pintu, namun ketika sudah dekat pintu itu membuka, Nurdin, sopirnya muncul di depan pintu.
“Bang Nurdin, tolong Bang…ada orang gila !” katanya terbata-bata karena masih gemetar.
Namun kelegaannya cuma sebentar saja, karena Nurdin malah mendorongnya ke arah Imron yang dengan sigap menangkap tubuhnya, ketika dia mau menjerit, tangan kokoh Imron langsung membungkam mulutnya sementara tangan satunya mengunci kedua pergelangannya yang telah ditelikung ke belakang. Nurdin menggeser meja dosen untuk mengganjal pintu, setelahnya dia mulai menghampiri nona majikannya itu.
“Lebih baik Non berhenti ngelawan, inget Non kesini buat apa ? Non pengen rekaman ini diliat orang lain ? dimana nanti mukanya mau ditaruh Non ?” ancam Imron sambil tetap membekap mulut Sherin “Coba aja kabur atau teriak, rekaman ini bakal tersebar, tinggal kirim ke sembarang nomor di HP ini !”
Sherin tidak tahu harus berbuat apa lagi dalam situasi seperti itu. Ketakutan akan dicelakai dan rekamannya tersebar membuat rontaannya berkurang dan pasrah pada nasibnya.
“Binatang lu, tega-teganya berbuat gini ke gua, kacung ga tau diuntung !” maki Sherin pada Nurdin dengan tatapan penuh kebencian.
“Hehehe, udah gini masih bisa galak juga Non !” Nurdin terkekeh sambil mengelus pipi majikannya “denger yah, saya juga udah ga tahan kerja buat cewek sombong kaya Non ini, besok saya juga mau keluar kok, tapi sebelum keluar saya mau ngasih Non kenangan manis dulu dong !”
Wajahnya makin pucat mendengar perkataan itu, dia sadar sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi, dia sudah dalam cengkeraman mereka. Keangkuhannya runtuh seketika itu juga, dadanya sesak dipenuhi emosi karena dikhianati, direndahkan dan diancam.
Tatapan mata Nurdin yang penuh nafsu binatang itu membuat nyalinya ciut sehingga memalingkan muka tak berani menatapnya, wajahnya jadi memelas memohon belas kasih. Tiba-tiba dirasakan darahnya berdesir ketika Nurdin menggerayangi pahanya yang jenjang.
“Udah daridulu gua pengen megang nih paha, akhirnya bisa juga sekarang, gile mulusnya!” komentarnya
Tangan Nurdin meraba makin naik hingga menyingkap roknya dan meremasi bongkahan pantatnya, sementara dari belakang Imron meremas payudara kirinya. Air mata Sherin pun mengalir dan memohon-mohon minta dilepaskan.
“Jangan, jangan perkosa saya, ampun !” katanya terisak
“Santai Non, nanti juga enak kok” sahut Imron
Nurdin mulai menciumi pipi Sherin, leher dan telinga juga tak luput darinya, Hembusan nafas dan lidahnya membuatnya bergidik juga merasakan sensasi aneh yang meskipun dia menolaknya tapi ingin terus merasakannya.
Kemudian tangannya meraih kepala Sherin dan mencium bibirnya yang tipis dengan kasar, dia menggeleng-gelengkan kepala berusaha menolak, namun Nurdin pegangan Nurdin pada kepalanya terlampau kuat sehingga terpaksa diterimanya serbuan bibir sopirnya itu.
Eeemmhh…emmphhh !” hanya itu yang terdengar dari mulutnya yang tersumbat bibir Nurdin yang atasnya ditumbuhi kumis tipis seperti tikus.
Tangan Nurdin kini sudah meraba kemaluannya yang masih tertutup celana dalam, jari-jarinya bergerak liar mengosoki belahan kemaluannya. Sementara Imron makin bernafsu meremasi payudara Sherin, perlakuan kasarnya membuatnya ingin menjerit kesakitan tapi mulutnya tersumbat bibir Nurdin sehingga bibirnya yang terkatup malah terbuka dan lidah Nurdin pun menerobos masuk, lidahnya menyapu rongga mulut Sherin dan beradu dengan lidahnya.
Imron mulai mempreteli kancing baju Sherin dan menarik lepas baju itu dari tubuhnya. Kini tubuh atas Sherin cuma tersisa bra pink.
“Bukain kaitnya Pak Imron, daridulu gua penasaran pengen liat toked majikan gua ini !” kata Imron tak sabaran
Imron pun melucuti branya, Sherin menutupi payudaranya dengan tangan dan terus memohon agar mereka tidak meneruskan aksinya. Tanpa mempedulikan ocehannya, Nurdin menyingkirkan tangan yang menghalanginya itu. Terpesonalah keduanya melihat keindahan buah dada Sherin yang putih, kencang dan berputing kemerahan itu.
“Wah majikanlu tokednya bagus banget, putih bulat kaya bakpao !” kata Imron sambil mengusap-usap payudara itu.
“Iya nih, pentilnya juga ngegemesin, imut gini !” timpal Nurdin yang tangannya memencet puting itu dan menarik-nariknya.”Nah, sekarang coba kita liat bawahnya !”
Sherin berusaha menahan roknya dengan tangan ketika Nurdin akan memelorotinya, tapi kemudian Imron kembali menelikung tangannya ke belakang sehingga dengan leluasa
Nurdin membuka sabuk dan resletingnya, rok itu pun meluncur jatuh melalui kakinya, disusul celana dalamnya dipeloroti hingga ke lutut. Kedua orang itupun kini dapat menikmati tubuh polos Sherin, tangan-tangan hitam kasar itu berkeliaran menggerayangi lekuk tubuhnya yang indah. Nurdin yang berjongkok mulai menyentuh kemaluannya yang dilebati bulu-bulu tipis yang tercukur rapi.
“Hhmm…memek yang bagus, masih rapat, jembutnya juga rapih, gua suka yang kaya gini !” celoteh Nurdin
Dari belakang Imron mencaplok kedua payudaranya, jari-jarinya memencet-mencet dan memilin-milin putingnya sehingga Sherin pun terpancing libidonya, nafasnya makin berat. Walaupun sesekali dia memelas minta dilepaskan, namun tubuhnya berkata lain, terlebih ketika lidah panas Imron menyapu telak leher dan belakang telinganya. Saat itu satu tangan Imron turun ke bawah dan meremas pantatnya, jarinya terkadang menyentuh anusnya, belum lagi jari dan lidah Nurdin yang kini sedang bermain di vaginanya. Perbuatan mereka membuat Sherin semakin tak berdaya, tak berdaya karena nikmat dan tak cukup tenaga untuk melawan.
Mereka lalu menurunkan tubuhnya hingga terbaring di lantai, dia merasakan dinginnya lantai menyentuh punggungnya. Nurdin melepas celana dalam yang menyangkut di tungkainya dan dibukanya sepasang paha itu, wajahnya mendekati kemaluannya, lidahnya menjilati paha, pangkal paha, hingga akhirnya menyentuh bibir vaginanya. Di tempat lain Imron dengan rakus mencium dan menghisap payudaranya, lidahnya yang menari-nari liar itu menyebabkan puting itu makin mengeras.
“Toked yang montok, eemmhh…sluurpp…!”
Beberapa menit lamanya Imron mengeksploitasi payudara Sherin sebelum akhirnya jilatannya meluas ke lekuk tubuh lainnya, ketiak, bahu, leher, hingga akhirnya bibir mereka bertemu. Dari matanya yang terpejam air mata terus mengalir, namun birahinya terus naik tak terkendali.
“Hhhmmpphh…!” rintih Sherin tersendat saat lidah sopirnya menyentil-nyentil klitorisnya, tubuhnya menggeliat-geliat menahan siksaan birahi itu.
“Udah mulai kerasa enaknya kan Non,tuh udah banjir gini !” ejek Nurdin sambil terus menjilatinya.
Kalah oleh desakan nafsunya, Sherin pun tak terasa membalas permainan lidah Imron, untuk mengurangi rasa jijik dia membayangkan yang dicium itu adalah Frans. Dia merasakan kemaluannya sudah sangat basah akibat jilatan sopirnya, tak lama kemudian dirasakan badannya menggelinjang. Mereka tertawa-tawa melihat reaksinya.
“Hahaha…akhirnya nikmatin juga kan !” ejek Imron
“Dasar perek, munafik, tadi sok jual mahal, tapi baru digituin dikit aja udah keenakan !” timpal Nurdin
Betapa panasnya telinga Sherin mendengar hinaan seperti itu, apalagi yang mengucapkan adalah sopirnya sendiri, dia tak menyangka sopirnya sampai setega itu padanya, dia mulai menyesali seandainya dulu dia bersikap baik padanya mungkin kejadian hari ini tidak akan menimpanya, tapi segalanya sudah terlambat.
Kini Nurdin menariknya hingga berlutut di depan selangkangannya, lalu dia membuka celananya sendiri. Dan terlihatlah kemaluannya yang membuat Sherin terkesiap karena panjangnya, lebih kaget lagi saat dia melihat milik Imron yang sudah berdiri di sebelahnya karena miliknya walaupun tak sepanjang sopirnya namun lebih kokoh dan berurat. Sambil berkacak pinggang seolah tanda kemenangan, Nurdin memerintahkan anak majikannya mengoral penisnya. Di bawah ancaman, Sherin meraih penis itu dengan tangan gemetar lalu sambil menutup mata menahan rasa jijik dimasukkannya benda itu ke mulutnya.
“Huehehe…baru kali ini gua liat majikan nyepongin sopirnya, hebat, hebat !” ejek Imron melihat adegan itu.
“Sepongannya yahud banget, daripada nyepongin pacar Non yang kontolnya kecil itu mendingan yang saya kan, lebih gede, lebih muasin lagi !” Nurdin menimpali
“Ayo Non, yang saya juga pengen diservis !” Imron meraih tangan Sherin dan meletakkannya pada penisnya.
Sherin mengulum dan mengisap penis sopirnya sambil tangannya sesekali mengocoknya, sementara tangan satunya mengocok punyanya Imron. Sepuluh menit lebih dia mengocok dan mengulum penis kedua jahanam itu secara bergantian. Dia menyadari betapa kotor dirinya saat melakukan hal itu, tapi entah dorongan apa yang membuatnya merasa terangsang dan menikmati perlakuan mereka.
“Sshhh…sshh…mau ngecrot nih Non, ditelen yah…awas kalo dimuntahin !” perintah Imron sambil melenguh nikmat.
Akhirnya dengan satu lenguhan panjang Imron, menekan kepala Sherin ke selangkangannya sehingga batang itu melesak lebih dalam ke tenggorokan gadis itu lalu menumpahkan isinya yang kental disana. Cairan itu langsung memenuhi mulutnya dan tertelan tanpa bisa ditahan. Sherin gelagapan dan meronta ingin melepaskan benda itu tapi Imron menahan kepalanya dan kalah tenaga. Dia langsung terbatuk-batuk dan nafasnya terengah-engah mencari udara segar begitu Imron mencabut penisnya, aroma sperma yang menusuk itu masih terasa di mulutnya.
Sherin sempat beristirahat sekitar dua menitan sebelum Nurdin menarik pergelangan kakinya dan membentangkan kedua pahanya, lalu dia mengambil posisi diantara kedua paha itu.
“Ok, Non sekarang saatnya ngejos hehehe!” seringainya mesum
“Jangan Bang, saya mohon…oohh, maafin saya !” Sherin mengiba dengan berurai air mata.
“Waktu saya minta maaf dulu, Non juga ga maafin, enak aja sekarang minta maaf !” cibir Nurdin tanpa menghentikan aksinya mendorong penisnya memasuki vaginanya.
“Sakit…akh…lepaskan…uuhh !” rintihnya saat penis sopirnya menyeruak masuk menggesek dinding kemaluannya.
“Ooohh…enak tenan memeknya Non biar udah ga perawan tapi masih seret !” komentar Nurdin
“Tuh kan kebukti kontol pacarnya kecil, kalo ngga pasti udah ga seseret sekarang, ya ga Din !” sahut Imron disambut gelak tawa keduanya.
“Siap yah Non, saya bakal ngebuktiin kalo saya lebih bisa muasin Non daripada pacar Non itu, hiihh !” habis mengucapkan kalimat itu Nurdin langsung menyodokkan penisnya diiringi erangan panjang Sherin.
Nurdin terus menghentak-hentakkan pinggulnya membuat tubuh Sherin berkelejotan, mulutnya mengap-mengap mengeluarkan rintihan yang justru membuat kedua orang itu tambah bernafsu.
“Ayo liat sini, asyik nih buat nambah koleksi gua !” sahut Imron mengarahkan cameraphone itu pada mereka.
“Jangan…tolong jangan ahhh…direkam…ahhh !” Sherin mencoba menutupi wajahnya dengan tangan
Namun Nurdin malah merentangkan kedua tangannya itu ke samping sehingga Sherin tidak bisa menutupi wajahnya lagi. Nurdin tertawa-tawa melihat ke arah kamera seolah bangga bisa menikmati tubuh majikannya yang cantik itu. Sekitar tiga menit Imron mengabadikan adegan perkosaan itu sebelum dia sendiri bergabung menikmati tubuh mulus itu.
Imron menggerayangi seluruh tubuh Sherin serta menjilatinya, leher jenjang itu dicupangi sampai memerah. Lidah Imron yang menggelitik tubuhnya membuatnya makin menggelinjang.
“Busyet, baru pernah gua main sama anak juragan sendiri, ternyata asoynya ga ketulungan !” kata Nurdin sambil terus menyetubuhinya tanpa ampun.
Tak lama kemudian, tubuh Sherin mengejang dan menekuk ke atas sampai tulang-tulang rusuknya terjiplak di kulitnya. Dia merasa seperti ada suatu ledakan hebat dari dalam tubuhnya yang tidak bisa ditahan dan menyebabkan tubuhnya menggelepar-gelepar bak ikan keluar dari air. Tidak dapat disangkal bahwa perasaan itu nikmat luar biasa melebihi kenikmatan yang pernah dirasakan bersama pacarnya. Nurdin masih terus menggenjotnya selama beberapa menit ke depan, dan akhirnya dia pun mencabut penisnya lalu buru-buru mendekati wajah Sherin dimana dia menyemprotkan spermanya. Cairan putih kental pun berceceran membasahi wajah dan rambut gadis itu. Sebelum sempat membersihkan cairan berbau tak sedap itu dari wajahnya, Imron sudah mengambil giliran memperkosanya.
Imron membalikkan tubuhnya yang masih lemas itu ke posisi telungkup, kemudian pantatnya dia tarik hingga menungging.
“Aaahhkkk…aahh !” erang Sherin dengan mata terbelakak, kedua tangannya mengepal keras ketika Imron melakukan penetrasi dari belakang.
Setidaknya dia masih bersyukur karena Imron tidak mengincar anusnya, terbayang olehnya betapa sakitnya di anal seks dengan penis sebesar itu sementara anusnya masih perawan. Berkat bantuan cairan kemaluannya, penis Imron lebih mudah menusuk vaginanya, itupun masih terasa nyeri.. Dia mulai mengocok vaginanya, mulanya perlahan tapi lama-lama kecepatannya semakin meningkat. Sherin sebentar mendesah, sebentar menggigit bibir merasakan kenimatan yang diberikan Imron, sepertinya dia sudah begitu mengikuti permainan yang dipimpin oleh dua pemerkosanya itu. Rasa jijik dan marah yang sedaritadi menyelubunginya berubah menjadi gairah kenikmatan, setidaknya untuk saat ini. Semakin kasar perlakuan yang diterimanya semakin nikmat rasanya, pinggulnya pun ikut bergoyang mengimbangi irama genjotan Imron. Desahan yang keluar dari mulutnya makin menunjukkan kenikmatan bukannya desahan korban perkosaan.
Nurdin menaruh kursi di depan Sherin dan duduk di sana, selain kaos berkerahnya, bagian bawahnya sudah telanjang. Tubuh atas Sherin yang bertumpu di lantai itu diangkatnya ke antara dua pahanya.
“Ayo…Non tadi belum dibersihin nih, jilatin sampai bersih yah !” suruhnya
Tanpa harus disuruh kedua kalinya, Sherin yang sudah setengah sadar itu, meraih batang itu lalu menyapukan lidahnya membersihkan cairan yang belepotan di sana, sesekali dimasukkan ke mulut dan diemut sehingga pemiliknya merem-melek dan melenguh keenakan, penis itu pun perlahan-lahan membesar lagi di dalam mulutnya. Sementara dari belakang Imron masih asyik menyodok-nyodok vaginanya sambil kedua tangannya berpegangan pada kedua payudaranya. Butir-butir keringat sudah nampak pada kulit punggungnya seperti embun, wajahnya pun sudah bersimbah peluh bercampur sperma. Suatu saat Imron membenamkan penis itu hingga mentok dan memuntahkan isinya di dalam sana, tubuh pria itu mengejang sambil mengerang dengan suara berat. Nampak cairan putih itu meluber di sela-sela kemaluan Sherin membasahi daerah sekitar selangkangannya.
Mereka berganti posisi lagi, Nurdin berkata bahwa dia ingin mencoba posisi yang pernah dilihatnya di sebuah film porno. Mula-mula diperintahkannya Sherin naik ke pangkuannya berhadapan. Dia sudah memegangi penisnya yang mengacung tegak itu ketika Sherin menurunkan tubuhnya sehingga otomatis penis itupun melesak ke vaginanya diiringi desahan.
“Pegangan yah Non, kalo jatuh jangan salahin saya ntar !” suruhnya
Setelah Sherin berpegangan pada bahunya, Nurdin pelan-pelan bangkit dari bangku, kedua tangannya menopang pantat Sherin sehingga kini posisinya digendong Nurdin dengan kedua tungkai menjepit pinggang Nurdin. Merasa pijakannya telah mantap, Nurdin pun menyentakkan badannya menggenjot vagina majikannya dengan gaya berdiri.
“Wow…boleh juga jurus baru lu Din, sekali-sekali bisa gua coba nih !” kata Imron
“Berguna juga tuh film bokep, dapat pelajaran baru yang emang sip” sahut Nurdin yang makin ganas menggenjot Sherin. Dengan posisi demikian Sherin merasa vaginanya ditusuk dengan lebih keras dan dalam, payudaranya pun turut bergoyang-goyang seirama badannya.
Nurdin dapat bertahan sekitar belasan menit dalam posisi yang cukup menguras tenaga itu, namun selama itu dia berhasil mengirim Sherin mencapai klimaks. Mereka terus menggarapnya tanpa mempedulikan kondisi Sherin yang sudah kepayahan. Sekarang Imron berbaring di lantai dengan memakai pakaiannya sebagai alas kepala, disuruhnya Sherin melakukan gaya woman on top dengan bergoyang di atas penisnya. Dengan pertimbangan mengakhiri perkosaan itu secepatnya, Sherin pun menaiki penis Imron lalu mulai menaik-turunkan tubuhnya. Belum sampai semenit bergoyang, dari belakangnya Nurdin mendorong punggungnya ke depan sehingga pantatnya agak terangkat.
“Ntar Pak Imron, gua belum keluar nih tadi, sekarang mo nyoba ngejos disini nih !” katanya sambil memasukkan dua jari ke anusnya.
“Jangan Bang, jangan disana, saya takut !” mohonnya saat Nurdin mulai meludahi daerah itu agar licin serta mengeluarmasukkan jarinya sejenak.
“Heh, udah diem aja Non, ntar juga enak kok !” Nurdin mulai membuka lubang itu dan tangan satunya mengarahkan senjatanya ke sana.
Imron yang dalam posisi berbaring memegangi kedua lengan Sherin agar tidak berontak.
“Aaahh…aduh…sakit, ampun Bang, tolong hentikan !” rintih Sherin menyayat hati, tubuhnya mengejang, dan wajahnya meringis menahan perih
Tanpa merasa iba, sopir bejat itu terus saja melesakkan penisnya dan menikmati jepitan dubur itu terhadap penisnya, begitu juga Imron di bawahnya, dia malah makin bergairah melihat ekpresi kesakitan Sherin, sesekali dia menyapukan lidahnya pada payudara yang menggelantung dekat wajahnya. Mereka berdua pun mulai menggenjot tubuh Sherin, dua penis menghujam-hujam vagina dan anusnya, sungguh suatu derita birahi yang luar biasa dialami gadis malang itu.
“Gile, masih perawan loh pantatnya, sempit banget sampe berdarah gini !” kata Nurdin sambil meremasi bongkahan pantatnya.
Darah segar memang mulai nampak pada kulit pantatnya yang putih dan tangisan Sherin pun makin menjadi, namun itu tidak mengurangi kebiadaban kedua orang itu.
Beberapa saat kemudian ketiganya mencapai orgasme dalam waktu hampir bersamaan, yang paling awal adalah Nurdin, mungkin karena sempitnya, sperma itu menyemprot di dalam pantatnya dan meluber keluar bercampur cairan darah. Sherin pun menyusul beberapa menit kemudian bersamaan dengan Imron yang menumpahkan spermanya di dalam vagina Sherin. Tubuh Sherin pun akhirnya ambruk menindih Imron dengan penis masih menancap. Nurdin memakai kembali celananya, dia tersenyum puas sambil menyalakan sebatang rokok. Sebentar kemudian Imron pun bangkit dan melihat jam yang sudah menunjukkan jam lima kurang, dia membuka pintu dan memantau keadaan sekitar, sepi tidak ada ada tanda seseorang lewat sini. Sherin masih terbaring di lantai menangis sesegukan, keringat telah membasahi badannya, daerah selangkangannya penuh lelehan sperma dan di pantatnya sperma itu bercampur darah. Imron mengancamnya bahwa bila dia berani buka mulut atau pindah ke kampus lain, foto dan video klip itu akan disebarluarkan bahkan keselamatan pacarnya pun mungkin terancam.
Setiba di rumah, kedua orang tua Sherin masih belum ada di rumah, papanya memang sedang di luar kota sejak kemarin lusa dan mamanya sedang ikut arisan. Kesempatan ini tidak disia-siakan Nurdin untuk menikmati tubuh Sherin sepuas-puasnya. Dia memperkosa nona majikannya itu di kamar gadis itu serta di kamar mandi yang menyatu dengan kamar itu sekaligus mandi bersama. Sherin sendiri sepertinya sudah pasrah saja menikmati dirinya diperkosa seperti itu, pikirnya toh sudah telanjur basah, mandi saja sekalian. Perkosaan itu baru berhenti ketika mamanya pulang sekitar jam sembilan. Di depan nyonya besar itu, baik Nurdin dan Sherin bersikap seperti biasa, yang satu demi menutupi perbuatan bejatnya, yang lain demi menutupi rasa malu dan tidak ingin menyusahkan orang tuanya. Besoknya memang benar Nurdin mengundurkan diri dengan alasan ingin bekerja di kota lain bersama saudaranya, namun derita Sherin belum berakhir karena dia telah menjadi salah satu budak seks Imron, si penjaga kampus bejat itu.

Nightmare Campus 2: Jesslyn’s Tragedy

Jesslyn

2 Juli 2007 oleh shusaku
Siang itu, sekitar jam sebelas, suasana kampus Universitas ***** tempat Imron bekerja sedang ramai-ramainya. Saat itu, ketika Imron sedang mengepel lantai di dekat kantin, lewatlah serombongan mahasiswi yang terdiri dari empat orang di depannya. Keempatnya memang cantik-cantik, namun ada satu diantaranya yang menarik perhatian Imron, si penjaga kampus itu, bukan karena dia yang tercantik, karena tiga lainnya juga sama cantiknya, melainkan karena Imron merasa pernah melihat gadis ini sebelumnya, tapi entah dimana, dia memutar otak mencoba mengingatnya. Aha…akhirnya dia teringat dimana dia melihat gadis ini, dan ini berarti ada mangsa empuk hari ini tanpa harus susah-susah berusaha, demikian katanya dalam hati dengan seringai licik. Untuk lebih jelasnya marilah kita kembali sejenak ke beberapa hari sebelumnya untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.

LIMA HARI SEBELUMNYA :
Imron sedang berbaring di biliknya sambil jarinya mengutak-atik tombol-tombol HP hasil temuan itu. Belakangan ini dia memang sedang sibuk mempelajari penggunaan cameraphone itu, setting bahasa yang telah diatur ke dalam Bahasa Indonesia dan otaknya yang pada dasarnya cerdas mempercepatnya mengerti penggunaan teknologi abad-21 ini. Sebuah program aplikasi dalam ponsel itu membuatnya penasaran karena tidak bisa dijalankan, setiap masuk ke program itu pasti akan ditanya password, program itu tidak lain ‘Handy Photosafe’ yang berfungsi menyimpan file gambar yang bersifat pribadi. Tadinya mau dia biarkan atau kalau perlu hapus saja program tidak berguna itu, namun ketika dia melihat-lihat notes pada ponsel itu, mulailah dia berpikir siapa tahu passwordnya ada di sini, karena selain jadwal disitu juga terdapat beberapa catatan aneh. Iseng-iseng dicobanya satu-satu kata-kata dalam notes itu, kalau bisa syukur, tidak pun tak mengapa.

Tanpa diduga, salah satu kata dalam notes itu ternyata memang kata sandi yang diminta sehingga dia dapat mengakses lebih jauh program itu. Di dalamnyalah terdapat sekitar duapuluhan foto-foto perempuan telanjang dan setengah telanjang yang sepertinya hasil jepretan cameraphone itu. Hehehe…asyik rejeki nomplok, katanya dalam hati sambil menikmati gambar-gambar itu. Waktu itu belum terpikir olehnya kalau salah satu gadis di file itu adalah mahasiswi di kampus tempatnya bekerja, dia baru tahu hari ini ketika gadis tersebut lewat di depannya.

Chapter II : Jesslyn’s Tragedy
Masih belum yakin, dia buru-buru masuk ke gudang peralatan di dekat situ dan mengeluarkan cameraphonenya, dilihatnya sekali lagi gadis dalam gambar itu untuk memastikan. Ya, sepertinya tidak salah lagi itu memang dia, nama filenya jesslyncute03.jpg. Hmmm…apakah namanya Jesslyn pikirnya, kalau benar kemungkinan besar nomor HPnya juga ada dalam daftar teleponnya. Buru-buru dia membuka daftar nomor pada cameraphone itu dan benar disitu memang ada nama Jesslyn, tapi apakah itu nomornya. Dihubungilah nomor itu sambil mengamati lewat kaca nako, senyum kemenangan muncul di wajahnya ketika gadis itu mengangkat ponselnya dari tasnya menjawab panggilannya.
“Eh, Ricky udah ketemu yah HP lu !” katanya begitu mengangkat HP-nya
“Hai Jesslyn, foto-fotonya bagus sekali senang loh melihatnya, hehehe…!”

Ekspresi kaget terlihat dari wajahnya begitu mendengar jawaban dengan suara berat itu, dia nampak meminta ijin meninggalkan meja pada teman-temannya dan berjalan ke tempat yang lebih sepi.
“Siapa ini, apa maksudlu !” katanya dengan nada panik
“Hehehe…saya cuma ngomentarin foto Non di HP ini kok, abis cantik, terus bodynya wuiihhhh, jadi saya sekalian mau minta ijin buat dicetak terus dijual…hehehe”
“Heh bangsat, apa sih maulu sebenernya, kalo berani keluar, jangan jadi pengecut !” nadanya mulai marah.
“Huehehe…jangan marah-marah gitu Non, jadi takut ah, padahal kan Non besok bakal jadi selebritis di kampus setelah foto-foto asoy Non dipajang di papan pengumuman”
Perkataan barusan sontak membuat Jesslyn bagai disambar petir, dia sadar dirinya telah terjebak dalam situasi tidak menguntungkan sekaligus menyesali dulu pernah membuat foto-foto seperti itu untuk Ricky, mantan pacarnya yang juga pemilik HP yang tertinggal itu.

“Tolong, jangan, lu mau apa sebenarnya, kita rundingkan dulu gimana ?” katanya gugup
“Hmm…boleh memang itu yang mau saya bicarakan, gini aja Non, kita ketemu jam tiga nanti di mini teater, di gedung sastra lantai lima untuk membicarakannya, dan oo..iya pastikan jangan ada yang tahu apa yang kita bicarakan sekarang kalau tidak mau yang lain tahu” katanya sebelum menutup pembicaraan.
Gadis itu kembali ke mejanya dengan wajah lesu, dia menggeleng dengan senyum dipaksa saja ketika teman-temannya menanyakan hal itu dan menjawab dengan alasan dibuat-buat. Dia tetap bersikap biasa dan pura-pura riang di depan mereka agar tidak ada yang curiga. Selama mengikuti perkuliahan di kelas dia tidak konsen memikirkan apa yang akan dilakukannya nanti dan apa yang akan diperbuat orang tak dikenal itu terhadapnya, juga merasa kesal dan marah pada orang keterlaluan itu.

Jesslyn, nama gadis itu, baru berumur 19tahun dan memasuki tahun keduanya kuliah di fakultas teknik industri. Parasnya cantik, berkulit putih bersih dengan tinggi 170cm dan berat 49kg, payudaranya berukuran sedang, pas dengan postur tubuhnya, rambutnya yang dicat kemerahan terurai sedada. Orang bilang dia mirip Lee Hyori, personel group penyanyi Fin. K.L. asal Korea. Hari itu dia memakai tanktop pink berdada rendah dengan setelan luar berwarna putih, bawahannya memakai celana panjang putih 3/4 yang menjiplak tungkainya yang ramping dan panjang serta memperlihatkan betisnya yang putih mulus. Foto-foto itu memang pernah dia buat waktu berpacaran dengan Ricky yang baru saja putus baik-baik dua bulan lalu. Sebenarnya ketika mendengar Ricky kehilangan HPnya itu, hatinya sudah was-was kalau saja foto itu ada yang melihat, dia cuma bisa berharap orang yang menemukan HP itu tidak mengetahui passwordnya. Sekarang apa yang ditakutinya itu benar-benar terjadi, orang itu telah menemukan passwordnya gara-gara kecerobohan Ricky sendiri yang memang pelupa sehingga dia menaruh password di notes.

Jam tiga, waktu yang ditentukan pun tiba, kampus sudah mulai sepi, terutama di lantai-lantai atas. Ketika dia memasuki lift pun sudah tidak ada siapa-siapa lagi, jantungnya semakin berdebar-debar seiring dengan angka pada lift yang makin menaik. Ting ! pintu lift membuka, tibalah dia di lantai lima, langkahnya terasa berat menyusuri koridor yang sudah sepi itu hingga akhirnya dia tiba di depan mini teater yang dimaksud, ruangan itu berfungsi sebagai ruang multimedia bagi anak sastra, untuk menonton film ataupun presentasi, untuk itu piranti seperti vcd/dvd player, video tape, dan proyektor lengkap tersedia disana. Jam-jam segini fakultas sastra umumnya sudah tidak ada kuliah lagi, itulah mengapa Imron memilih tempat ini. Setelah lima menit menunggu tanpa melihat seorangpun, diapun menghubungi nomor (bekas) Ricky.
“Aahh…Non Jesslyn, gimana janji kita ?” jawab suara di seberang sana begitu diangkat.
“Ga usah basa-basi lah, lu dimana, gua ini udah di depan mini teater tau” jawabnya ketus
“Oohh…bagus-bagus, akhirnya Non dateng juga, saya kira mau batalin janji, kalau gitu silakan buka aja pintunya Non, ga dikunci kok, saya udah seperempat jam disini, khusus nungguin Non, hehehe !”
Dengan tegang dia membuka pintu itu dan seraut wajah tua tak bersahabat muncul.

“Ooo…Non Jesslyn, mari masuk sudah saya tunggu daritadi” sapa orang itu
“Jadi Bapak orangnya, kurang ajar, berani-beraninya…!” bentak Jesslyn memelototkan matanya.
“Kurang ajar yah, heheheh…udah ah Non, jangan marah-marah gitu lagi, serem ah !” katanya dengan nada mengejek “kita disini kan buat berunding Non, lupa ya ?”
“Tolong Pak, serahkan HPnya ke saya atau paling tidak hapus foto-fotonya !” pintanya
“Yeehh…masa gampang gitu Non, saya susah payah ngundang Non kesini cuma buat itu” katanya mencibir
“Heh…denger yah, Bapak bisa saya laporkan ke polisi tau !” bentaknya bertambah emosi
“Wah…asyik dong, polisinya untung tuh bisa ngeliatin foto-foto ini terus yang lain juga bakal tau juga” timpalnya kalem sambil menunjukkan foto bugil dirinya di HP itu.
Jawaban itu langsung membuatnya terkesiap tanpa sanggup berkata-kata lagi selain menatap Imron yang tersenyum penuh kemenangan, ruangan itu sunyi sejenak.

“Foto-foto ini ga akan Bapak publikasikan dan Bapak juga akan tutup mulut” katanya memecah kesunyian “asal Non…” sambil melanjutkan kata-katanya dia mendekati Jesslyn dan meraih kerah setelan luarnya untuk dilucuti.
“Tidak, jangan macam-macam Pak !” katanya dengan menahan tangannya.
“Hhmmhh…jadi ga setuju nih ? ya udah, ga maksa kok, kalau gitu sekarang Bapak ke tempat cetak digital aja”
Tak berdaya Jesslyn dibuatnya, pikirannya kalut dan panik membayangkan apa yang bakal terjadi kalau foto-foto itu tersebar. Karena tak ada jalan lain lagi, dia menurunkan tangannya membiarkan Imron membuka setelan luarnya, kain itu pun jatuh ke lantai sehingga kini bahu dan lengannya yang putih mulus itu dapat dilihat Imron. Dia tidak tahu harus bagaimana lagi selain yang satu ini.
“Nah, gitu dong, ternyata Non pinter memilih mana yang lebih baik” kata Imron seraya berjalan ke pintu di belakang Jesslyn lalu menguncinya.

Imron mengitari sejenak tubuhnya mengamat-ngamati kesempurnaan tubuh yang langsing bak biola itu. Tatapan Imron yang jalang itu menyebabkan wajahnya tertunduk malu dan kedua tangannya disilangkan di dada padahal belum juga ditelanjangi. Tak bisa lagi menahan nafsunya, Imron mendekap tubuh Jesslyn dari belakang.
“Pak jangan, aahh…sudah lepaskan !” Jesslyn berusaha berontak ketika tangan itu mulai merambahi payudaranya.
“Udahlah Non, nurut aja biar kita sama-sama enak, kalau Non berontak terus saya bakal main kasar loh, mau ?!”
Kemudian tangannya mencengkram buah dada Jesslyn dari luar dan meremasinya dengan gemas, rambut panjangnya dia sibakkan ke kiri dan menghirup aroma tubuhnya yang harum. Perasaan jijik ditambah putus asa membuatnya meneteskan air mata, dirasakannya ada benda mengganjal pantatnya dari balik celana Imron, dia mulai terangsang ketika lidah Imron menyapu telak lehernya sehingga membuat bulu kuduknya merinding. Imron meneruskan rangsangannya dengan mejilati telinga Jesslyn, lidahnya didorong-dorong ke lubang telinganya menyebabkan Jesslyn menggelinjang dan meronta kecil antara menolak dan terangsang.
“Jangan…jangan, ahhh…ahh !” katanya menghiba

Tangan kanannya kini mulai menyusup lewat bawah baju Jesslyn menyentuh perutnya dan menyusup ke balik bra-nya. Jesslyn menggeliat karena tangan kasar itu terasa geli di payudaranya yang halus, terlebih ketika Imron menggesekkan jarinya pada putingnya. Sambil merasakan kepadatan dan kehalusan payudara Jesslyn, Imron terus mencupangi lehernya yang jenjang meninggalkan bekas merah pada kulit putih itu. Jesslyn hanya bisa menggigit bibir bawah dengan mata terpejam menerima serbuan-serbuan erotis pria setengah baya ini. Sekarang tangan satunya bergerak ke bawah perut melepaskan sabuknya.
“Nggak Pak, jangan disitu !” desisnya dengan terisak
Tanpa mempedulikan ocehan Jesslyn, Imron terus bergerak membuka kancing disusul resleting celananya, dan masuklah tangan kirinya lewat atas celana dalamnya, dirasakannya bulu-bulu halus yang menyelimuti daerah kewanitaannya.

Tangannya mula-mula hanya mengelus-elus permukaanya, lalu sebentar kemudian jarinya mulai merayap masuk ke belahannya mengaduk-aduk bagian dalamnya. Hal ini membuat tubuh Jesslyn bergetar dan nafasnya semakin tidak teratur, rupanya dia sudah tak kuasa menahan diri lagi. Mulutnya menceracau tak jelas dan kakinya terasa lemas, kalau saja tidak didekap Imron mungkin tubuhnya kehilangan topangan. Imron meningkatkan serangannya untuk membuat gadis itu takluk sepenuhnya dengan cara memainkan klitorisnya, daging kecil itu dia gesekkan pada jarinya dan sesekali dipencet-pencet sehingga pemiliknya tersentak dan mengerang, Jesslyn tinggal pasrah saja membiarkan Imron mengocok-ngocok vaginanya dengan jarinya.
“Haha…mulai konak ya Non, liat udah basah gini !” ejeknya dekat telinga Jesslyn
Kalau mau terus terang, memang Jesslyn sudah terangsang berat, namun disisi lain dia juga merasa harga dirinya direndahkan oleh penjaga kampus itu, hal ini jelas-jelas pemerkosaan.

Beberapa saat kemudian, Imron mengeluarkan tangannya dari celana Jesslyn, jari-jarinya basah oleh lendir vagina. Dia lantas mengangkat Jesslyn dengan kedua lengan kokohnya.
“Aaww…mau apa Pak, lepasin, lepasin !” Jesslyn menjerit kecil sambil meronta-ronta
Dibaringkannya tubuh itu diatas sebuah meja dengan kedua kaki terjuntai. Begitu menurunkan tubuh Jesslyn, Imron langsung mencopot tank-top beserta bra dibaliknya lalu dilemparkan ke belakang, rontaan Jesslyn malah membuat Imron semakin bernafsu. Dengan sigap ditangkapnya kedua pergelangan tangan Jesslyn lalu mencondongkan tubuhnya ke depan sampai hampir menindihnya. Jesslyn menggelengkan kepalanya kekiri dan kanan menghindari Imron yang makin mendekatkan wajahnya untuk menciuminya.

“Nggak mau Pak, jangan…minggir…mmmhh !” kata-katanya terhenti saat bibir Imron akhirnya melumat bibir mungilnya.
 Jesslyn merapatkan bibirnya kuat-kuat sebagai tanda penolakan, namun lama-lama pertahanannya bobol juga karena Imron terus merangsangnya dengan menjilati bibirnya dan mendesak-desakkan lidahnya. Mulut Jesslyn mulai membuka dan secara refleks menyambut lidah Imron dan beradu dengan panasnya. Merasa korbannya sudah berhasil dijinakkan, Imron melepas pegangannya pada tangannya dan beralih mengelusi payudaranya. Nafas Jesslyn sudah putus-putus ketika Imron melepas ciumannya, dia memalingkan wajahnya ke samping, tapi Imron menatap wajah cantiknya dan mengelus wajahnya.
“Non ini cantik sekali, Bapak emang beruntung hari ini Non mau ngentot sama Bapak !” pujinya.
“Siapa yang mau main sama lu kalo ga dijebak gini, dasar bajingan licik !” umpat Jesslyn dalam hati dengan tatapan penuh kebencian.

Sekarang sasarannya adalah kedua payudara montok Jesslyn, Imron dengan rakus melumat daging kenyal itu dengan mulutnya, dikenyot dan dijilati, sementara tangannya meremasi yang sebelahnya. Jesslyn meringis di tengah desahannya karena payudaranya terasa sakit oleh remasan Imron yang kasar.
“Ooohh…!” desahnya ketika Imron menyentil-nyentilkan lidahnya pada putingnya yang sensitif, kadang disertai gigitan kecil yang membuatnya makin menggelinjang.
Setelah puas menyusu, Imron melepaskan sepatu bertumit tinggi yang dipakai Jesslyn agar bisa meloloskan celananya. Kembali Jesslyn hanya bisa pasrah saja ketika celana berikut celana dalamnya ditarik lepas sehingga kedua paha mulus dan kemaluannya yang berbulu lebat pun terlihat. Hawa dingin dari AC menerpa tubuhnya yang sudah telanjang bulat. Segera setelah menelanjanginya, Imron pun membuka seluruh pakaiannya hingga sama-sama bugil.

Jesslyn terhenyak dengan menyilangkan kedua tangan menutupi dada dan mengatupkan kedua belah pahanya melihat penis Imron yang hitam besar itu sudah mengacung dengan gagahnya.
“Tenang aja Non, sekarang Bapak mau ngelicinin memek Non dulu biar Non ga kesakitan nanti !” katanya seraya mendorong tubuh Jesslyn kembali rebah di meja.
Diambilnya sebuah kursi dan dia duduk tepat di depan kemaluan Jesslyn seperti dokter kandungan sedang memeriksa pasiennya saja. Kedua tungkai Jesslyn yang menjuntai diangkatnya dan diletakkan di bahunya. Matanya menatap tajam kearah kemaluan yang sudah basah itu, hembusan nafasnya makin terasa bersamaan dengan wajahnya yang makin mendekat.
“Aahhh…Pak !” desahan halus keluar dari mulutnya saat Imron menyapukan lidahnya pada bibir kemaluannya.
Lidah Imron semakin liar saja, kini lidah itu memasuki liang vaginanya dan bertemu dengan klitorisnya. Badan Jesslyn bergetar seperti tersengat listrik dengan mata merem-melek Bukan saja menjilati, Imron juga memutar-mutarkan telunjuknya di liang itu, sementara tangan lainnya mengelusi paha dan pantatnya yang mulus.

Permainan mulut Imron pada daerah yang paling pribadinya itu mau tidak mau membawa perubahan pada dirinya. Geliat tubuhnya sekarang tidak lagi menunjukkan perlawanan, dia nampak hanyut menikmati perlakuan Imron, hati kecilnya menginginkan Imron meneruskan aksinya hingga tuntas. Dibawah sana Imron makin meningkatkan serangannya menjilat dan mengisap vaginanya.
“Mmmhh…memeknya asoy banget Non, rajin dirawat yah ?” gumam Imron ditengah aktivitasnya.
Sepuluh menit kemudian, tanpa dapat ditahan lagi cairan pelumas membanjir keluar dari vaginanya diiringi erangan panjang,tubuhnya menggelinjang tak terkendali, ya…dia telah orgasme, orgasme dari orang yang menjebak dan memperkosanya. Imron dengan rakusnya menyeruput cairan yang keluar seperti orang kelaparan, terdengar bunyi sslluurpp….sssrrppp…! dari hisapannya.

Tubuh Jesslyn pun melemas setelah menegang sesaat, matanya terpejam dengan nafas terengah-engah. Tiba-tiba dia membelakakan matanya karena merasakan suatu benda tumpul menyentuh bibir vaginanya.
“Jangan…jangan masukin !” katanya dengan suara lemas
Dia terlalu lemas untuk meronta setelah orgasmenya barusan. Kini Imron telah berdiri diantara kedua pahanya dengan kepala penis sudah menempel di vaginanya, kedua betis Jesslyn dia sangkutkan di bahunya yang lebar.
“Nah, sekarang udah licin Non, ga bakal sakit, tahan yah, uuhh…!!” begitu menyelesaikan kata-katanya ditekannya penis itu masuk.
Jesslyn merintih menahan nyeri saat penis besar itu menyeruak ke dalam kemaluannya yang sempit, demikian juga Imron meringis menahan sakit merasakan penisnya tergesek dinding vaginanya. Dengan beberapa kali gerakan tarik dorong yang keras maupun lembut, penis itu akhirnya terbenam seluruhnya. Mata Jesslyn sudah basah oleh air mata ketika itu, tangisan yang disebabkan rasa frustasi, nyeri, dan ketidakberdayaan.

Penis itu terasa sangat sesak di liang vaginanya, ini memang bukan pertama kalinya bagi Jesslyn, namun penis mantan pacarnya, Ricky tidaklah sebesar milik Imron.
“Oohh…enak banget Non, sempit, legit, padahal udah gak perawan, hehehe…!” katanya sambil menggenjot.
Imron meningkatkan tempo goyangannya, penis yang besar dan berurat itu menggesek dan menekan klitorisnya ke dalam setiap kali menghujam. Kedua payudaranya yang membusung tegak itu ikut berguncang hebat seirama guncangan badannya. Imron meraih yang sebelah kanan dan meremasnya dengan gemas. Gairah Jesslyn mulai bangkit lagi, dia merasakan kenikmatan yang berbeda dari biasanya, yang tidak didapatnya saat bercinta dengan mantan pacarnya itu, ditambah lagi sudah sejak putus dua bulan yang lalu tubuhnya merindukan belaian pria. Tanpa disadari dia juga ikut menggoyangkan pinggulnya seolah merespon gerakan Imron.

“Turun Non, kita ganti gaya !” perintahnya
Mungkin karena saking terangsangnya, Jesslyn menurut saja apa yang dimintanya, Imron mengatur posisinya berdiri dengan pantat agak ditunggingkan, tangannya bertumpu pada meja di depannya. Dan, penis Imron kembali memasuki vaginanya dari belakang. Dalam posisi demikian, Imron memaju-mundurkan pinggulnya sambil berpegangan pada kedua payudara Jesslyn. Mulutnya sibuk menciumi pundak dan lehernya membuat Jesslyn serasa melayang, sekonyong-konyong dia tidak merasa diperkosa karena turut menikmatinya. Ditariknya wajah Jesslyn hingga menengok ke belakang dan begitu wajahnya menoleh bibir tebalnya langsung memagut bibirnya. Karena sudah pasrah, Jesslyn pun ikut membalas ciumannya, lidah mereka saling membelit dan beradu, air liur mereka menetes-netes di pinggir bibir.

Setelah sepuluh menit dalam posisi berdiri itu, Jesslyn merasa genjotanya makin kencang dan disusul cairan hangat memenuhi rahimnya. Imron melenguh panjang, penisnya masih menghujam-hujam namun frekuensi goyangannya menurun, sperma yang ditumpahkannya sebagian meleleh membasahi selangkangan Jesslyn. Untuk yang satu ini Jesslyn merasa agak lega karena saat itu bukan masa suburnya, tapi juga merasa kesal Imron menumpahkan spermanya sembarangan tanpa bertanya terlebih dulu, bagaimana seandainya kalau saat itu sedang subur, tapi…kalaupun ya, apakah Imron mau tahu.
“Ohh…apa yang terjadi padaku, ini pemerkosaan, tapi kenapa…kenapa aku malah menikmati, dengan orang macam ini pula !” Jesslyn mengalami konflik batin sedemikian rupa, tak habis pikir dia bagaimana mungkin dirinya begitu bergairah menikmati persetubuhan barusan, “bagaimana mungkin seorang penjaga kampus rendahan seperti ini bisa berbuat seperti itu terhadapku, seorang mahasiswi terpelajar, anak dari keluarga terhormat, ini gila…gila!” seribu satu konflik berkecamuk dalam pikirannya.

Jesslyn masih terbengong-bengong dengan tatapan mata kosong ketika gairah Imron mulai bangkit lagi. Dia menarik tubuhnya dari meja dan berpindah ke lantai tanpa melepas penisnya yang masih menancap, lalu diaturnya posisi Jesslyn seperti merangkak. Rasa dingin dari lantai marmer putih menjalari tubuh Jesslyn begitu lutut dan tangannya menempel di sana. Kembali Imron menghujam-hujamkan penisnya dengan berbagai variasi, Jesslyn pun mengiringinya dengan desahan. Sensasi nikmat mengaliri tubuh gadis itu, sampai suatu saat dia merasa dinding-dinding kemaluannya makin berdenyut-denyut serta makin menjepit kuat penis yang sedang menghajarnya.
“Aahh…Pak…Pak…!” desisnya saat diambang klimaks
Desahan Jesslyn semakin seru sampai dia merasa ada sesuatu yang meledak-ledak dalam dirinya, tubuhnya mengejang hebat, dan cairan kewanitaannya bercampur dengan sperma yang tadi ditumpahkan Imron meleleh keluar membasahi paha dalamnya.

Ketika gelombang klimaks mulai surut, Imron melepas penisnya dan pindah ke depan, rambut kemerahannya dia jenggut sehingga tubuhnya terangkat ke posisi berlutut.
“Isap Non, cepet !” perintahnya setengah memaksa.
Karena ingin secepatnya menuntaskan penderitaan ini, Jesslyn pun meraih penis yang sudah penuh lendir itu, sambil memejamkan mata dimasukkannya benda itu kemulutnya. Walaupun merasa jijik dengan baunya dan bulu-bulu kasarnya yang sudah basah, dia mau tidak mau mengulumnya, menghisap dan memainkan lidahnya dengan harapan bajingan ini keluar secepatnya dan membebaskannya.
“Mmmm…gitu Non, gitu, ternyata Non nyepongnya jago yah !” komentar Imron sambil merem-melek menikmati emutan Jesslyn.
Lima menitan kemudian, Imron mengerang panjang bersamaan dengan menyemprotnya spermanya di dalam mulut Jesslyn. Jesslyn gelagapan karena keluarnya cukup banyak, sebagian cairan kental itu meluap membasahi bibirnya. Sebelum semprotannya berhenti, Imron sudah menarik penisnya dari mulut Jesslyn sehingga sisanya yang tinggal sedikit mendarat di pipi dan hidung mancungnya.

Tubuh Jesslyn ambruk di lantai yang dingin, nafasnya naik turun mengambil udara segar setelah beberapa saat disumpal penis besar. Badannya terasa pegal-pegal, keringat membasahi sekujur tubuhnya walaupun ruangan itu ber-AC. Imron menyuruhnya tutup mulut tentang kejadian ini, juga tentang ponsel yang ternyata milik mantan pacarnya itu kalau mau rahasianya aman. Begitu sampai di rumahnya, Jesslyn langsung menyiram dirinya di bawah shower, membersihkan tubuhnya dari kenajisan yang baru dialaminya. Tubuhnya terduduk di box shower itu dan mulai menangis menumpahkan segala perasaannya yang campur aduk itu. Di saat yang sama Imron pun sedang mandi, cuma bedanya Imron sambil senyum-senyum, sebuah senyum kepuasan karena telah berhasil menambah satu nama lagi dalam daftar korbannya yang akan terus bertambah.
###########################